Komunitas alQuds Invision

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

    Metodologi dalam memahami Al Quran dan As-Sunnah

    Ali Sufyan
    Ali Sufyan
    Moderator
    Moderator


    Posting : 65
    Poin : 210
    Age : 41
    Lokasi : Ankara, Turkey

    Metodologi dalam memahami Al Quran dan As-Sunnah Empty Metodologi dalam memahami Al Quran dan As-Sunnah

    Post by Ali Sufyan Sat 05 Dec 2009, 07:58

    Al Quran dan Sunnah adalah rujukan bagi setiap muslim untuk memahami hukum-hukum Islam. Al Quran harus dipahami sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, tidak dipaksakan dan tidak serampangan. Sedangkan sunnah harus dipahami melalui para perawi hadits yang dipercaya.

    Dasar yang kedua adalah Al Quran dan Sunnah. Keduanya sering disebut sebagai sumber makrifat. Orang yang ingin mengetahui tentang Islam harus kembali kepada Al Quran dan Sunnah, sebab Al Quran adalah sumber Ilahi yang membatasi hak dan kewajiban manusia. Dasar agama Islam bukan akal tapi wahyu yang sifatnya terjaga dari kesalahan. Dasar ini menjelaskan apa yang diinginkan Allah dari kita, apa yang diridhai dan apa yang dibenci.

    Wahyu dibagi menjadi dua, yaitu: wahyu yang dibaca (wahyu al-matlu) yaitu Al Quran dan wahyu yang tidak dibaca (wahyu ghair matlu), yaitu Sunnah Rasulullah saw. Sunnah adalah penjelas bagi Al Quran. Dalam memahami agama Islam, kedua dasar ini harus diperhatikan.

    Firman Allah: “Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir” (QS. Ali Imran: 32)

    Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kamudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jik akamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa: 59).

    Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfal:20).

    Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” (QS. Muhammad: 33).

    Keduanya harus dipegang dan tidak cukup berpegang kepada salah satunya saja. Kita tidak boleh hanya berpegang kepada Al Quran saja. Dahulu pernah muncul kelompok seperti ini, yaitu kelompok yang cukup berpegang kepada Al Quran dan tidak berpegang kepada Sunnah. Pendapat ini masih ada yang meneruskannya sampai sekarang. Mereka mengatakan bahwa Al Quran sudah meliputi segala sesuatu.

    Untuk menjawab kesesatan mereka, silakan dibaca buku yang sangat bagus yang ditulis oleh Mustofa As-Siba’I yang diberi judul “As-Sunnah wa Makaanatuha fit-Tasyri Al-Islamy” (Sunnah dan Kedudukannya dalam Perundang-Undangan Islam)

    Firman Allah: “Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (QS. An-Nisa:80).

    Firman Allah: “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumnya” (QS. Al-Hasyr: 7)

    Orang yang mengatakan telah cukup dengan Al Quran saja, sebenarnya ia telah mengingkari Al Quran itu sendiri. Sebab, Al Quran tidak mungkin dipahami, dalam beberapa hal, kecuali dengan keterangan dari Sunnah, misalnya tentang shalat. Kata shalat disebutkan secara global dalam Al Quran, kemudian sunnah menjelaskan bagaimana cara mendirikannya dan kapan waktu pelaksanaannya. Begitu pula dengan ibadah puasa, haji dan lain-lain.

    Ada kelompok lain yang membagi-bagi sunnah. Mereka mengambil sebagian dan meninggalkan yang lain. Misalnya, hanya mengambil sunnah yang sifatnya mutawatir saja. Atau mengambil sunnah yang bersifat prakstis (amaliah) saja dan menolak yang bersifat qauliyah, padahal sebagian besar dari sunnah ini adalah sunnah qauliah.

    Sikap yang benar adalah kita harus kembali kepada sunnah secara keseluruhan: baik sunnah qauliah, dan amaliah maupun taqririah (penetapan). Kita juga menerima sunnah yang kedudukannya sahih atau hasan. Sedangkan sunnah yang lemah (dhaif), maka tidak bisa dijadikan sebagai sandaran hukum.

    Ilham, kasyif, lintasan perasaan dan mimpi tidka dapat dijadikan sumber agama Islam

    Iman yang tulus, ibadah yang benar, dan kesungguhan dalam beribadah adalah cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan Allah di dalam hati hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sedangkan Ilham, lintasan perasaan, ketersingkapan suatu rahasia, dan mimpi bukanlah bagian dari dalil hukum-hukum syariat. Ia bisa dianggap sebagai dalil jika tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nashnya”

    Berhubungan dengan prinsip ini, Hasan Al Banna menjelaskan pentinganya iman, ibadah dan mujahadah atau “riyadhoh nafsiah” (olah raga batin) dalam menyuburkan atau memerangi hati manusia. Tujuannya agar dapat menikmati apa yang disebut manisnya iman (halaawah iman).

    Orang yang berhasil melakukan olah raga batin, hatinya akan hidup dan bercahaya, firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QS. Al Anfal 29)

    Firman Allah: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS Al Ankabut 69).

    Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Al Hadid 2 8)

    Firman Allah: “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (QS Ath-Thalaq 2-3)

    Dalam hadits, Rasulullah bersabda “Takwalah (berhati-hatilah) dengan firasat seorang mukmin, sebab ia melihat dengan cahaya Allah” (HR. Tirmdzi dari Abu Said Al-Khudry ra)

    Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya, setiap umat dari sebelum kalian ada orang diberi Ilham, jika ada orang itu dari umatku maka ada adalah Umar” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra).

    Kata “muhaddatsun” artinya orang yang diberi ilham dan perkataannya selalu benar.

    Dalam kisah Usman bin Affan ra, Anas ra pernah melihat seorang perempuan yang mempesona. Ketika bertemu dengan Usman, Usman berkata, “Aku melihat kalian mendatangiku, dan aku melihat ada bekas zina pada mata anda?”

    Lalu Anas ra berkomentar, “Wahai Amirul Mukminin, ada apa ini? Apakah ada wahyu setelah Rasulullah saw wafat?

    Usman menjawab, “Bukan wahyu, tetapi firasat”

    Hal seperti itu tidak dapat diingkari. Tetapi, pemahaman yang salah adalah jika menjadikan ilham atau firasat sebagai salah satu sumber syariat, baik dalam masalah akhidah ataupun hukum yang bersifat praktis.

    Sebagian orang, ada yang berkata, “Hatiku telah berbicara (karena ilham) dari Tuhanku”

    Perkataan seperti ini, tentu saja, tidak dapat diterima, meskipun diucapkan oleh orang yang telah sampai pada tingkat sufi yang setinggi apapun.

    Sumber-Sumber Makrifat

    Sumber-sumber ilmu bagi seseorang ada tiga, yaitu: Indera yang sehat, Akal yang logis, Kabar (berita) yang jujur.

    Mengenai yang terakhir ini, yaitu kabar, ada yang bersifat mutawatir, yaitu kabar yang sudah diyakini kebenarannya, dan ada pula kabar dari seorang rasul yang mengandung makna mukjizat.

    Kabar (berita) seperti ini juga berlaku bagi sumber informasi di dalam duni ini. Mislanya, ada informasi yang menyebutkan adanya sebuah kota yang disebut dengan New York. Kita secara yakin telah mempercayainya, meskipun kita belum pernah melihat sendiri.

    Kabar dari seorang rasul artinya berita yang disampaikan oleh seorang rasul. Tetapi, ilham tidak bisa menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan.

    Hukum-hukum adalah masalah agama tidak dapat diterima hanya dengan berdasarkan kepada ilham atau apa yang disebut dengan “al-kasyf”. Demikian pula, untuk mengetahui derajat hadits atau sanadnya.

    Jika ada seseorang yang mengaku bertemu dengan nabi, baik dalam mimpi ataupun tidak, dan mengatakan bahwa ia disuruh untuk melakukan perbuatan tertentu atau melarang perbuatan tertentu, maka hal seperti itu tidak dapat diterima. Kenapa?

    Sebab, kita hanya diperintahkan untuk mengikuti Allah dan Rasulnya saja, seperti dijelaskan dalam banyak ayat dan hadits. Di antaranya firman Allah:
    “Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran” (QS. An-Nahl 16-17)

    Pernah ada sebuah cerita seorang tua yang dikenal saleh, rajin shalat malam dan memiliki keramat. Tetapi, ia mengkonsumsi barang-barang yang terlarang, seperti narkotika. Katanya, ia melakukan semua itu karena ia telah mendapatkan petunjuk melalui ibadah malamnya.

    Pemahaman seperti ini tentu saja tidak dibenarkan.

    Sebagian ulama pernah berkata, “Jika kalian melihat ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, sedangkan dia tidak mengikuti tuntunan syariat, maka ketahuilah bahwa ia adalah tukang sihir atau Dajjal”.

    Wajib mempelajari ilmu agama dari sumbernya

    Dalam mencari ilmu dan agama, kita harus mengikuti sumber yang asli. Kita tidak boleh menjadikan ilham atau “al-kasyaf” sebagai dasar agama, sebab ilham dan kasyf tidak bisa menjamin kebenaran. Alasan lainnya, hasil dari ilham atau “al-kasyf” bisa jadi bertentangan antara satu dengan yang lain.
    Bahkan sekarang sudah ditolak oleh ilmu dan akal.

    Ilmu Ladunni

    Ilmu dibagi menjadi dua, yaitu:
    1. Ilmu Syariah
    2. Ilmu Laduni (ilmu hakiki)

    Ilmu syariah adalah ilmu yang telah dipelajari oleh banyak orang, yaitu berbicara tentang hukum-hukum agama. Selain ilmu syariah, ada yang disebut “ilmu hakiki” atau “ilmu laduni”

    Ada riwayat dari salaf yang membenarkan keberadaan ilmu tersebut. Mereka berkata, “Barang siapa melihat mahluk Allah dengan kaca mata syariat maka ia akan mengkritiknya, tetapi barang siapa melihat mahluk Allah dengan kaca mata hakikat maka ia akan memaafkannya”

    Maksudnya, jika melihat manusia sesuai dengan “ilmu syariah”, kita akan meihat ada yang muslim, kafir, Yahudi, orang saleh, orang jahat, dan seterusnya. Tapi kalau melihat dengan “ilmu hakikat”, maka semua orang akan dimaafkan. Mereka telah ditentukan oleh takdir. Mereka memang tidak melakukan “syariat” (hukum Allah, tapi mereka melakukan “iradah” (kehendak) Allah.

    Bahkan, jika iblis dilihat dengan “ilmu hakikat”, maka bisa dimaklumi. Dalil yang sering digunakan untuk melegitimasi ilmu ini adalah kisah Nabi Khidzir as. Padahal, sebenarnya apa yang dilakukan oleh Nabi Khidzir, pada dasarnya, karena beliau melihat hikmah, yaitu melakukan perbuatan yang paling ringan resikonya, atau disebut “akhaffu dhororain”. Hikmah itu sangat jelas dapat dilihat dalam kisah Al Quran.

    Oleh karena itu, sekarang seandainya ada kejadian seperti Nabi Musa as dan Nabi Khidzir as, maka sebaiknya kita mengikuti siapa? Apakah mengikuti Nabi Musa as atau mengikuti Nabi Khidzir as?

    Jawabannya, kita harus mengikuti Nabi Musa as, dan tidak mungkin pada masa sekarang, ada yang mengklaim sebagai Nabi Khidzir as. Sebab beliau melakukan semua itu berdasarkan perintah dari Tuhannya, seperti disebutkan, “Sesungguhnya, aku tidak melakukan hal itu berdasarkan perintahku sendiri” (QS. Al-Kahfi 82).

    Mimpi

    Mimpi ada yang disebut “mimpi yang jujur”. Mimpi seperti ini disebut dalam sebuah hadits sebagai “mubasyirat” (mimpi yang menggembirakan). Ketika Rasulullah saw ditanya tentang “kabar gembira bagi seorang mukmin dalam kehidupan di dunia ini”, beliau menjawab, “Kabar gembira itu adalah mimpi yang jujur yang dilihat oleh seorang mukmin”. (HR. Tirmizi dari Ubaidah bin Shamith ra)

    Mimpi seperti itu disebut sebagai mimpi yang menggembirakan, tetapi hukumnya berbeda dengan wahyu, sebab orang yang menerima wahyu disebut nabi, sedang nabi telah habis. Tetapi, ada kalanya mimpi datangnya dari setan.

    Jika ada orang yang bermimpi, maka siapa yang menjamin kalau mimpi tersebut termasuk mimpi yang menggembirakan? Bagaimana jika ternyata berasal dari setan? Ada lagi mimpi yang merupakan bisikan dari jiwa manusia. (mimpi biasa)

    Mimpi bertemu Rasulullah saw

    Jika kita bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw, apakah kita bisa mempercayainya? Siapa yang berani menjamin kalau orang yang bertemu dengan kita dalam itu adalah Rasulullah saw? Padahal, agama Islam ini sudah lengkap dan tidak membutuhkan lagi kepada mimpi-mimpi semacam itu.

    Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa hadits yang menerangkan masalah ini hanya dapat diterapkan oleh para sahabat saja, sebab hanya mereka yang bertemu sendiri dengan Rasulullah saw. Kalau kita yang bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw, maka kita tidak akan tahu secara pasti apakah orang itu benar-benar Rasulullah saw atau bukan.

    Hadits tentang mimpi bertemu Rasulullah saw, beliau bersabda “Barang siapa bermimpi melihatku di dalam tidurnya, maka sebenarnya ia telah melihatku, sebab setan tidak dapat menyerupaiku” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra.

    Jadi, hal-hal seperti yang telah disebutkan di atas tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Misalnya, keterangan dalam hadits di atas, bahwa “Setan tidak dapat menyerupaiku”. Apakah maksudnya?

    Oleh karena itu, ketika Ibnu Sirin mendengar ada orang yang menyatakan telah melihat Rasulullah saw, maka beliau bertanya, “Coba ceritakan sifat-sifat Rasulullah saw kepadaku”

    Orang itu menjawab, “Orang itu begini, tingginya segini, besarnya segini… dan seterusnya”. Kalau sifat-sifatnya yang telah disebutkannya benar, maka baru dapat dikatakan ia telah melihat Rasul.

    Demikian juga dengan Ibnu Abbas, ketika ada orang yang menyatakan seperti itu, beliau mengatakan, “Coba ceritakan sifat-sifatnya”. Kemudian menjawab, “Beliau seperti Hasan bin Ali”. Maka Ibnu Abbas membenarkannya, sebab Hasan adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah saw.

    Jadi, tidak mungkin semua orang dapat mengaku telah bertemu dengan Rasulullah saw. Sebagian ulama mengatakan bahwa mimpi bertemu dengan Rasulullah saw tidak mungkin terjadi kecuali pada zaman sahabat. Karena hanya mereka yang mengerti tentang Rasulullah saw. Sedangkan kita tidak pernah mengetahuinya.

    Dalam mazhab Ibnu Hazem, diceritakan Umar pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam mimpi itu, Rasulullah saw berpaling darinya. Kemudian ditanya oleh Umar, “Wahai Rasulullah, kenapa anda berpaling dariku?”. Rasulullah saw menjawab, “Karena engkau mencium istrimu, pada saat engkau sedang berpuasa”.

    Ibnu Hazeem mengatakan, “Mimpi ini tidak dapat dijadikan hukum”. Dalil yang lebih penting adalah kisah Umar dan Rasulullah saw ketika Umar bertanya tentang hukum mencium istir pada saat berpuasa. Sebagaimana diceritakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad berikut ini:

    Umar bin Khattab ra pernah mencium isterinya ketika sedang berpuasa, lalu beliau mendatangi Rasulullah saw dan bertanya, “Wahai Rasulullah, saya telah melakukan perbuatan besar pada hari ini, yaitu mencium isteriku padahal aku berpuasa”.

    Lalu Rasulullah saw balik bertanya, “Bagaimana menurutmu jika engkau berkumur ketika sedang berpuasa, apakah membatalkan puasa?” Umar menjawab, “Tidak”. Rasulullah bersabda, “Demikian pula dengan mencium”.

    Maksudnya sekedar mencium dibandingkan dengan jimak (bersetubuh) bagaikan berkumur dibandingkan dengan meminum. Berkumur tidak membatalkan puasa.

    Dalam riwayat Imam Syatibi, Khalifah Al-Mahdi Al-Abbasi pernah didatangi oleh seorang ahli fikih yang bernama Al-Qhadhi Syarif Bin Abdillah. Al-Mahdi tidak menyambut secara baik, bahkan disambut dengan marah dan disuruh untuk mengambilkan pedang. Syarif bin Abdillah menjadi bingung. Ketika ditanya kenapa, Al-Mahdi menjawab “Aku bermimpi melihatmu berpaling dariku dan ketika aku bertanya kepada juru takwil mimpi, mereka mengatakan bahwa engkau memperlihatkan ketaatan tapi menyembunyikan permusuhan”. Pada saat itu Syarif bin Abdillah berkata, “Mimpi anda bukanlah mimpi Khalilullah Ibrahim as, dan juru takwil mimpi anda bukanlah Nabi Yusuf as”.

    Mimpi Nabi Ibrahim as adalah ketika diperintahkan untuk menyembelih anaknya dan takwil Nabi Yusuf adalah ketika menakwilkan mimpi raja. Ia melanjutkan, “Mimpi anda tidak berhak untuk membunuh seorang mukmin”. Akhirnya Al-Mahdi pun mengalah.

    Diceritakan juga oleh Imam Ghazali, ada sekelompok orang yang ingin membunuh seseorang. Ketika ditanya kenapa?, mereka menjawab, “Ada orang saleh yang melihat iblis dalam mimpinya. Ia telah masuk ke dalam beberapa negeri tapi tidak masuk ke dalam sebuah negeri. Ketika ditanya kenapa tidak masuk negeri tersebut? Iblis menjawab, “Saya tidak perlu masuk, karena di sana sudah ada seseorang syekh (ahli agama) yang mengatakan bahwa Al Quran itu makhluk”.

    Lalu ia bertanya, “Kalau Iblis berfatwa kepadamu dalam keadaan sadar (tidak mimpi) ahwa aku mengatakan bahwa Al Quran itu mahluk apakah kalian mempercayainya?”. Mereka menjawab, “Tidak”. Kemudian ia melanjutkan, “Demikian juga fatwanya dalam tidur, tentu tidak lebih utama untuk dipercaya”

    Berdasarkan semua itu, maka Hasan Al Banna bermaksud untuk menyelesaikan masalah agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami agama. Bahwa, hal-hal seperti di atas tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan, tapi itu pun seharusnya dalam perkara-perkara yang hukumnya mubah dan syaratnya tidak bertabrakan dengan hukum syariat. Mimpi-mimpi yang biasa dan sederhana, maka hal ini tidak apa-apa, asal tidak berhubungan dengan hukum syara’ seperti mubah, halal, haram, makruh dan seterusnya. Dalam perkara-perkara yang hukumnya mubah, maka tidak apa-apa, seperti mimpi melihat barang bagus di depan rumah atau mimpi melamar orang lain, dan lain sebagainya.

      Waktu sekarang Tue 14 May 2024, 06:35