Komunitas alQuds Invision

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

    Apakah Musa penulis Pentateukh ? (bagian2 dari 50)

    avatar
    ahmad ismail
    Kafilah
    Kafilah


    Posting : 9
    Poin : 23

    Apakah Musa penulis Pentateukh ? (bagian2 dari 50) Empty Apakah Musa penulis Pentateukh ? (bagian2 dari 50)

    Post by ahmad ismail Fri 25 Dec 2009, 09:18

    Aslinya ada dua dokumen berisikan ceritera yakni Yahwista (J), yang mulai dari kisah penciptaan mempergunakan nama Yahwe, yaitu nama Allah yang diwahyukan kepada Musa, dan Elohista (E), yang menyebut Allah dengan nama umum. yaitu Elohim. Dokumen Yahwista, menurut teori ini, mendapat bentuk tertulis dalam abad ke-9 di Yehuda, sedangkan Elohista sedikit kemudian mendapat bentuknya di Israel. Sesudah musnahnya Kerajaan Utara, kedua dokumen itu dilebur menjadi satu (JE). Sesudah raja Yosia, kitab Ulangan (D) ditambahkan kepada gabungan tadi (JED). Sehabis Pembuangan, kitab Hukum Para Imam (P), yang terutama berisikan peraturan-peraturan dan beberapa ceritera disatukan dengan kumpulan tadi dan menjadi rangka dan bingkainya (JEDP).

    Teori dokumen yang klasik ini, yang juga dihubungkan dengan suatu gagasan tentang evolusi paham-paham keagamaan bangsa Israel, kerapkali dipersoalkan. Dewasa, inipun seluruh teori tersebut masih ditolak oleh sebagian para ahli. Sejumlah ahli lain menerimanya dengan perubahan-perubahan yang cukup penting. Tidak ada dua orang, ahlipun yang seluruhnya sependapat dalam menentukan bagian-bagian Pentateukh manakah yang termasuk ke dalam masing-masing dokumen. Terutama di masa sekarang ini para ahli sependapat, bahwa penyelidikan dan segi bahasa saja tidak cukup menerangkan cara digubahnya Pentateukh. Penyelidikan bahasa itu masih perlu dilengkapi dengan studi tentang bentuk sastra dan tradisi lisan atau tertulis yang mendahului penggubahan sumber-sumber Pentateukh. Masing-masing dokumen, bahkan yang paling mudapun (P), memuat unsur-unsur yang sangat tua. Kesusastraan kuno di Timur Dekat yang ditemukan kembali serta kemajuan ilmu arkheologi dan sejarah, yang membuka pengetahuan baru tentang kebudayaan-kebudayaan dan bangsa-bangsa yang bertetangga dengan Israel, membuktikan, bahwa sebagian besar undang atau peraturan yang terdapat dalam Pentateukh sangat serupa dengan undang atau petaturan di luar Kitab Suci dan lebih tua usianya daripada yang ditetapkan buat “dokumen-dokumen” tadi. Ternyata pula sejumlah ceritera Kitab Suci mengandaikan lingkungan lain dan lebih tua daripada lingkungan tempat “dokumen-dokumen” itu disusun.

    Macam-macam tradisi dari zaman dahulu, baik hukum maupun ceritera, terpelihana di tempat-tempat suci atau turun-temurun diceriterakan oleh ahli-ahli ceritera di kalangan rakyat. Tradisi-tradisi itu dikumpulkan menjadi kumpulan-kumpulan lebih kurang besar, lalu dituliskan atas desakan kalangan-kalangan tertentu atau oleh seorang tokoh yang berperan penting. Hanya penggubahan-penggubahan itu bukanlah tahap terakhir. Sebaliknya kumpulan-kumpulan tadi itu disadur kembali, ditambah dan akhirnya digabungkan satu sama lain menjadi Pentateukh. “Sumber-sumber” tertulis dari Pentateukh merupakan tahap-rahap penting dalam perkembangan yang lama. Aliran-aliran tradisi yang lebih tua seolah-olah tersimpul di dalamnya, lalu mengalir terus dan berkembang.

    Banyaknya aliran tradisi tersebut merupakan kenyataan yang menjelaskan adanya ceritera dobel, pengulangan dan pertentangan-pertentangan yang mengherankan pembaca mulai dari halaman-halaman pertama kitab Kejadian: dua kisah mengenai penciptan, 1:1-2:a dan 2:4b-3:24; dua silsilah Kain-Keni-Kenan, 4:17 dst dan 5:12-17; gabungan dua kisah tentang air bah, 6-8. Dalam riwayat para bapa bangsa, perjanjian Abraham diceriterakan sebanyak dua kali, Kej 15 dan 17; dua kali Hagar diusir, 16 dan 21; ada tiga ceritera tentang nasib malang isteri seorang Bapa Bangsa di negeri asing, 12:10-20; 20; 26:1-11; gabungan dua ceritera tentang Yusuf dan saudara-saudaranya, yang terdapat dalam bab-bab terakhir kitab Kejadian. Terdapat pula dua kisah tentang panggilan Musa, Kel 3:1 - 4:17 dan 6:2 - 7:7, dua mujizat air di Meriba, Kel 17.1-7 dan Bil 20:1-13; dua teks Dekalog, Kel 20:1-17 dan UI 5:6-21; empat penanggalan liturgis, Kel 23:14-19; 34.18-23; Im 23; Ul 16:1 -16. Dapat dikemukakan banyak contoh lain lagi. Berdasarkan kesamaan bahasa, gaya bahasa dan gagasan-gagasan, bagian-bagian tertentu dan Pentateukh dapat dikelompokkan, sehingga tampillah kesatuan-kesatuan (ceritera dan hukum-hukum) yang berbeda satu sama lain dan yang lk. utuh-lengkap. Dengan demikian ditemukan empat aliran tradisi.

    Tradisi “Yahwista” (disebut demikian karena mulai dengan kisah penciptaan mempergunakan nama Allah yang khusus yaitu Yahwe) mempunyai gaya bahasa yang hidup dan berwarna-warni; melalui bahasa penuh gambar dan berkat bakat berceritera yang mengagumkan, tradisi ini menjawab secara mendalam pertanyaan-pertanyaan serius yang timbul dalam hati setiap manusia; ungkapan-ungkapan manusiawi yang dipakainya dalam berceritera tentang Allah, menyembunyikan suatu rasa keagamaan yang bermutu tinggi. Sebagai pengantar ke dalam sejarah para leluhur Israel, disajikannya sebuah ringkasan sejarah umat manusia sejak penciptaan pasangan manusia pertama. Tradisi ini berasal dari Yehuda dan barangkali bagiannya yang terpenting dicatat di zaman pemerintahan raja Salomo. Dalam kumpulan teks yang dikatakan termasuk tradisi ini, kadang-kadang ditemukan sebuah tradisi sejalan, yang asal-usulnya sama juga, tetapi memantulkan gagasan-gagasan yang kadang-kadang lebih kuno dan kadang-kadang berbeda-beda dengan yang lazim dalam Yahwista; kepada tradisi itu di beri tanda Y 1 (Yahwista yang pertama) atau L (sebab berasal dan kalangan kaum awam) atau N (sebab berasal dan suku-suku Badui). Pembedaan ini tampaknya dapat dibenarkan, namun sukar menentukan, apakah di sini terdapat suatu tradisi yang berdiri sendiri ataukah hanya beberapa unsur saja yang diambil-alih oleh tradisi Yahwista dengan mengindahkan coraknya yang asli.

    Tradisi “Elohista” yang ciri khas lahiriahnya ialah penggunaan nama umum bagi Allah (Elohim), berbeda dengan tradisi Yahwista, karena gaya bahasanya lebih sederhana dan juga kurang menarik, lagi pula karena dalam hal kesusilaan lebih banyak tuntutannya dan karena usahanya mempertahankan jarak yang memisahkan manusia dengan Allah. Dalam tradisi ini tidak terdapat ceritera-ceritera tentang asal jadinya dunia; ia mulai dari Abraham. Barangkali tradisi ini lebih muda daripada tradisi Yahwista dan biasanya dikatakan berasal dan suku-suku Utara. Beberapa ahli tidak menyetujui adanya tradisi Elohista terpisah. Mereka menganggap hipotesa tentang pelengkapan, penyempurnaan atau penyaduran yang diadakan terhadap karya Yahwista sebagai hipotesa yang sudah cukup memuaskan. Tetapi teori tentang adanya suatu tradisi dan penulisan tradisi E, yang mula-mula berdiri sendiri, tidak hanya didukung oleh ciri-ciri khas pada gaya bahasa dan ajaran tetapi juga oleh perbedaan dengan J dalam asal-usulnya. Teori ini didukung pula oleh kenyataan, bahwa mulai dari Abraham sampai dengan ceritera-ceritera tentang wafatnya Musa, kisah E yang sejalan dengan kisah J, cukup lengkap sambil berbeda dengan J.

    Maka satu hal penting perlu diperhatikan. Kendati corak-corak yang membeda-bedakannya, namun ceritera-ceritera Yahwista dan Elohista pada hakekatnya mengisahkan sejarah yang sama. Jadi kedua tradisi ini mempunyai titik-pangkal yang sama. Suku-suku Israel di Utara dan di Selatan mempunyai tradisi yang sama. Tradisi itu menertibkan kenangan-kenangan bangsa Israel dalam hal sejarahnya, ialah: urutan ketiga bapa bangsa yakni Abraham, Ishak dan Yakub, keluaran dari Mesir yang digabungkan dengan penampakan Allah di gunung Sinai, pengikatan Perjanjian di gunung Sinai yang dihubungkan dengan pendudukan daenah Trans-Yondania, yang menjadi tahap terakhir sebelum direbutnya Tanah Tenjanji. Tradisi bersama ini mulai terbentuk secara lisan dan mungkin juga secara tertulis sejak zaman para Hakim, yakni sejak Israel mulai menjadi suatu bangsa.

    Tradisi Yahwista maupun Elohista memuat hanya sedikit teks berupa hukum; yang paling berarti ialah Kitab Hukum Perjanjian yang akan dibicarakan nanti. Padahal, sebaliknya, hukum-hukum merupakan urat nadi tradisi Para Imam. Hukum itu khususnya mengenai Bait Suci, korban-korban dan hari-hari raya, pribadi dan tugas Harun serta keturunannya. Tetapi di samping bagian-bagian yang berisikan hukum atau yang mengenai lembaga-lembaga keagamaan itu, tradisi Para Imam memuat juga ceritera. Ceritera-ceritera itu khususnya menjadi terperinci mana kala dapat mengungkapkan perhatian khusus yang diberikan oleh tradisi Para Imam kepada hukum dan ibadat. Tradisi ini menggemari angka-angka dan silsilah-silsilah. Karena perbendaharaan kata yang khas dan gaya bahasanya yang abstrak, tradisi itu mudah dikenal. Inilah tradisi para imam Bait Suci di Yerusalem. Walaupun di dalamnya terpelihara macam-macam unsur kuno, namun tnadisi ini baru terwujud di masa pembuangan Israel dan baru umum diterima dan mulai beredar setelah Israel kembali dari pembuangan. Di dalamnya dibeda-bedakan beberapa lapisan atau tahap penggubahan. Selebihnya sulit ditentukan, apakah tradisi ini pernah berdiri sendiri sebagai sebuah karya tertulis. Agaknya lebih mungkin, beberapa orang yang mewakili tradisi para imam di Yerusalem itu memungut bahannya dari tradisi-tradisi yang sudah ada, lalu menggubah dan menerbitkan Pentateukh seperti sekarang ada.

      Waktu sekarang Thu 16 May 2024, 10:20