Komunitas alQuds Invision

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

    Analisis : Persaingan Cina - Amerika

    Tieka
    Tieka
    Kafilah
    Kafilah


    Posting : 15
    Poin : 41

    Analisis : Persaingan Cina - Amerika Empty Analisis : Persaingan Cina - Amerika

    Post by Tieka Tue 08 Dec 2009, 10:55

    Pada bulan Oktober 2009, Cina memperingati 60 tahun Revolusi dimana ia merdeka dari Cina dan mengalahkan kaum Nasionalis dengan terbentuknya Republik Sosialis Cina. Sejak awal abad ke 21 para analis memandang bangkitnya Cina sebagai tantangan terbesar terhadap Amerika Serikat (AS) dan banyak anggapan bahwa Cina akan berkembang menjadi negara adidaya. Cepatnya Cina menjadi negara yang diperhitungkan dalam peta politik dunia membuat banyak kalangan terkesima dan memprediksi adanya pergeseran kekuatan global dari Barat ke Timur. Cina tidak pernah menjadi kekuatan politik dan sejarah masa lalunya yang kelam akibat penjajahan brutal oleh Jepang selalu menjadi memori bagi Cina di masa paska Perang Dunia II. 60 tahun Revolusi pada negara terbesar di dunia merupakan realita baru dan untuk pertama kalinya diperhitungkan sebagai kekuatan adidaya.
    Kunjungan Obama ke negeri-negeri Asia Tenggara diikuti lawatan ke Korea Selatan, Jepang, Singapur dan Cina, dimana ini merupakan kunjungan pertama kalinya sejak Obama menjadi presiden terpilih. Dari semua lawatan ini, kunjungan ke Cina merupakan aspek terpenting dari perjalanan Obama ini.

    Cina membangun dirinya sejak tahun 1978 dengan mengembangkan sains dan teknologi, yang didorong dengan kepentingan militer. Pembangunan ini dimulai sejak jaman pemerintahan Mao. Mao menginginkan terbangunnya ‘militerisasi’ yang kuat diatas segala-galanya. Proyek ‘militerisasi’ inilah yang menjadi tulang punggung kebijakan Deng Xiao Ping. Tujuan Deng adalah untuk mendiversifikasi ekonomi Cina sehingga tidak hanya sektor hankam tetapi juga menstimulasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sipil. Konsep Deng yang berisi 16 butir tuntunan di awal 1980an secara gamblang menegaskan : mengintergrasikan petumbuhan sektor militer dan rakyat sipil, dengan memastikan memenuhi kebutuhan militer, mempertahankan kemampuan militer, dan menggunakan ekonomi sipil demi upaya modernisasi militer.”[1]

    Sebelumnya Cina telah menerapkan sistem ekonomi terpimpin ala Soviet yang terbukti gagal. Deng lalu menggunakan sistem ekonomi yang berorientasi kepada pasar, terutama pada Zona Ekonomi Spesial yang terletak di kota-kota Guangdong, Fujian, dan Hainan. Hasilnya luar biasa. Cina merubah ekonominya secara radikal dari pengekspor komoditas bermutu rendah menuju komoditas teknologi tinggi. Negeri ini berubah dari ekonomi yang terbelakang menjadi mesin pengekspor kelas dunia. Ekspor Cina naik sepuluh kali lipat (antara 1990 - 2003 bernilai sekitar $436 trilyun.)[2]Kini nilai ekspor Cina melampui 1 trilyun dolar dan merupakan ekonomi terbesar di dunia setelah AS dan Jerman.

    Sejak 1978, Cina mereformasi ekonominya dari model ekonomi terpimpin ala Soviet menuju ekonomi yang berorientasi ke pasar, namun dengan sistem politik yang dikuasai oleh Partai Komunis Cina. Sistem ini disebut sebagai ‘Sosialisme dengan Karakter Cina’ dan merupakan sistem ekonomi campuran. Reformasi yang dimulai sejak tahun 1978 telah mengangkat derajat jutaan manusia dari garis kemiskinan, menurunkan kemiskinan hinga 53% dari populasi negeri itu di tahun 1981 dan 8% di tahun 2001.

    Kebijakan luar negeri Cina juga mencerminkan perubahan penting dari pendekatan Beijing yang sempit dan reaktif pada masa lalu. Cina sudah meninggalkan mentalitas yang memandang dirinya sebagai korban (victim mentality) akibat penderitaan selama 150 tahun dan mengadopsi mentalitas adidaya (great power mentality-daguo xintai). Konsekuensinya, Cina mulai mengambil peran aktif dalam isu global, dimana generasi penggeraknya belum lahir semasa Revolusi Cina sehingga tidak memandang Cina dari perspektif sejarah Cina. Pemimpin kontemporer seperti Hu Jintao, yang lahir hanya beberapa tahun sebelum Revolusi adalah pemimpin Cina pertama yang tidak ikut serta dalam long march yang terkenal karena berhasil mengalahkan kaum Nasionalis dan menaikkan partai komunis ke panggung kekuasaan di tahun 1949. Pemimpin yang menanggalkan victim mentality dan yang mengambil mentalitas adidaya adalah tipe pemimpin yang kini memimpin Cina dan memiliki visi sebagai negara adidaya.

    Hubungan AS dan Cina
    Pembuat kebijakan AS membuat strategi menghadapi Cina dalam dokumen “Tuntunan Perencanaan Pertahanan” (1994-99), yang merupakan bentuk pernyataan resmi AS pada masa paska runtuhnya Uni Sovyet, “Kita harus sekuat mungkin mencegah kekuatan asing manapun yang bisa mendominasi suatu wilayah yang sumber alamnya, ketika terkontrol secara solid, akan mampu mendukung terbentuknya kekuatan global.”[3] Ketika George Bush menjadi Presiden AS, hanya Cina yang memiliki kapasitas ekonomi dan militer yang mampu mengimbangi AS sebagai negara adidaya. AS membuat kebijakan yang mengisolasi Cina supaya tetap pada perbatasannya, ketimbang menghadapinya secara langsung karena hanya akan menghabiskan energi AS.

    Kebijakan mengisolasi Cina ini tersirat dari tulisan Condoleezza Rice ketika ia menjadi penasihat kebijakan luar negeri George W Bush, yang saat itu masih menjadi Gubernur Texas, saat pemilu presiden tahun 2000 dalam artikel majalah Foreign Affairs,” Cina adalah kekuatan besar yang memiliki masalah yang belum selesai terutama dengan Taiwan. Cina juga tidak menyukai peran AS di wilayah regional Asia Pasifik.” Oleh karena itu, Rice mengatakan,” Cina bukanlah kekuatan ‘status quo’, tapi ia adalah kekuatan yang berkeinginan merubah keseimbangan kekuatan di Asia yang sesuai dengan kepentingannya. Kenyataan ini menjadikan Cina sebagai pesaing, bukan ‘mitra strategis’ sebagaimana yang didengungkan oleh pemerintahan Clinton. AS harus memperkuat hubungan dengan Jepang dan Korea Selatan dan mempertahankan komitmen untuk memiliki keberadaan pasukan AS di wilayah regional tersebut. ” Washington juga harus “memperhatikan secara seksama terhadap peran India dalam keseimbangan politik dan membawanya ke dalam lingkaran persekutuan yang anti Cina.”[4]

    Namun demikian, sepuluh tahun berikutnya AS dan Cina berada dalam posisi interdependen. Ketika AS mendominasi wilayah regional di awal abad ini, perang Afghanistan, Iraq, dan krisis ekonomi global membuat AS tidak mampu mendominasi Cina. Ini terlihat dalam fakta berikut:
    AS merupakan konsumen terbesar dunia dimana mayoritas barang yang ia konsumsi berasal dari dan diproduksi oleh Cina .Akibatnya, AS memilki defisit perdagangan dengan Cina senilai 268 trilyun. Dengan demikian sekitar 1 juta trilyun mata uang dolar dikuasai Cina

    Cadangan dolar yang sangat besar yang dimiliki Cina membuat Cina memiliki kemampuan untuk membeli saham keuangan AS, yang digunakan AS untuk membiayai defisit perdagangannya
    Hal ini berakibat kepada ekspansi perindustrian Cina, dimana industri tersebut membutuhkan pasokan minyak dan energi yang lebih besar lagi.Berikutnya, pengangguran di sektor industri AS pun meningkat karena kalah bersaing dengan kualitas produksi Cina yang lebih superior

    Kebijakan AS terhadap Cina terlihat kontradiktif. Faksi Kanan AS, yang dipimpin kaum korporasi melihat Cina dari aspek komersial karena populasi Cina yang besar merupakan pasar yang menjanjikan keuntungan, sehingga ia melobi pemerintah AS untuk menarik Cina ke dalam pasar bebas global dan memaksa Cina untuk membuka pasar domestiknya. Faksi Kiri AS, yang sejak dulu memandang Cina sebagai ancaman, selalu menghantam Cina dengan isu hak asasi manusia, sensor internet, dan perseteruan Cina dengan Taiwan. Dari segi komersial, perusahaan seperti Google, Yahoo, Microsoft, dan industri perbankan AS meraup keuntungan dari hubungan komersial AS dan Cina.

    Mereka yang memandang Cina sebagai ancaman memaksa pemerintah AS untuk terus mengisolasi Cina. AS meningkatkan kerjasama keamanan dengan Jepang dan mendukung seruan Jepang untuk mengembangkan nuklir, yang berarti meninggalkan sikap Jepang tentang kebijakan defensif yang telah berlangsung selama ini. Namun, bagi AS perkembangan di Jepang merupakan penyeimbang kekuatan Cina di wilayah Timur. Di wilayah Barat, AS mendekati India dengan berbagai kerjasama ekonomi, transfer teknologi nuklir, dan upaya pemberian status permanen dalam Dewan Keamanan PBB. Lebih jauh lagi, AS menormalisasi hubungannya dengan Vietnam, mengubur dendam masa lalu, dan membangun kerjasama bilateral. AS berhasil menggaet Vietnam dari pengaruh Cina sehingga memutus aliansi tradisional Cina di wilayah pasifik ini. Hingga saat ini Vietnam sendiri juga memiliki konflik perbatasan dengan Cina di seberang utara.

    AS juga menggunakan konfliknya dengan Korea Utara untuk mengisolasi Cina. AS tidak banyak bereaksi terhadap program nuklir Pyongyang ketimbang program semacamnya di Iran, ketika Cina berusaha keras mengorganisir perundingan 6-negara untuk menghindari krisis yang lebih meluas di seberang perbatasannya sendiri. Pernyataan dari perundingan yang berlangsung memang nampak kontradiktif.

    Ketika Cina menyatakan pesimismenya, AS justru menyatakan hal yang optimis dalam proses negosiasi. Malahan AS mendapatkan justifikasi untuk tetap mempertahankan militernya di Korea Selatan. AS juga memgumumkan di bulan September 2009 untuk meninggalkan kebijakan sangsi terhadap rezim Myanmar dan memulai hubungan langsung dengan rezim militer Myanmar. Myanmar memainkan peran penting dalam strategi luar negeri Cina tentang energi. Adanya kerjasama yang langsung antara AS dan Myanmar merupakan bentuk untuk membatasi pengaruh Cina di Asia.

    Kebangkitan palsu

    Dalam 5000 tahun sejarahnya, Cina tidak pernah menjadi kekuatan adidaya dan tidak pernah mempengaruhi politik internasional. Bahkan ketika Cina mengadopsi Komunisme, ia tidak mampu mengembannya lebih jauh dari batas negerinya sendiri apalagi mempengaruhi negara lain. Selama 5000 tahun, Cina lebih sering berperang dengan dirinya sendiri dan sibuk untuk menyatukan wilayah.

    Kebijakan politik luar negeri Cina juga berpusat pada pembangunan ekonomi domestik dan menguasai sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhannya. Cina memang melawan strategi AS untuk mengisolasi dirinya dengan melemahkan negeri-negeri yang dirancang AS sebagai alatnya. Misalnya, Cina juga menawarkan kerjasama bilateral dengan Australia, India, Jepang dan Korea Selatan agar hubungan negeri-negeri ini dengan AS menjadi lebih kendor.

    Realita ini membuat Cina terlalu fokus pada wilayah regional dan tidak memiliki ambisi untuk lebih dari itu. Hal ini akan berubah apabila Cina merubah ambisi regionalnya menuju ambisi global. Tanpa adanya perubahan ambisi, maka Cina tidak akan menjadi kekuatan global. Dengan pandangan regional yang sempit, Cina tidak akan mampu menandingi AS. Apa yang dilakukan Cina di Afrika sebenarnya tidak untuk menantang AS tapi sekedar usaha mendapatkan akses kepada energi minyak, dimana Cina akan semakin tergantung kepadanya. Di sinilah Cina menghadapi isu penting yang akan menentukan status masa depannya.

    Cina juga menghadapi berbagai masalah yang memerlukan solusi, dan tanpa ideologi yang jelas maka Cina tidak akan menyelesaikan masalahnya secara konsisten pula. Tanpa ideologi, Cina akan terus didikte isu sebagai akibat tidak terselesaikannya isu yang lain. Pembangunan ekonomi Cina yang semakin tergantung kepada pasokan minyak membuat Cina harus membangun kerjasama yang koheren yang memiliki minyak. Tanpa ideologi, Cina sudah menghadapi masalah integrasi Tibet dan Xinjiang. Pertanyaannya, tanpa ideologi, bagaimana Cina akan mengintegrasikan Tibet dan Xinjiang, dan dengan ideologi apa penduduk tersebut akan diintegrasikan?

    Secara domestik Cina memang diperintah oleh Komunisme, karena memang Cina masih dipimpin oleh sistem 1 partai. Akan tetapi Cina mulai beranjak ke sistem pasar bebas. Di saat yang sama, Cina juga bersikap nasionalistik yang memancing seruan disintegrasi dari beberapa wilayah, dimana AS berperan dalam memberikan dukungan diam-diam secara konsisten. Sampai pada satu titik Cina memutuskan apa jati dirinya, negeri ini akan terus ditarik ulur ke arah yang berbeda-beda dan Cina pun tidak akan mampu bangkit untuk menandingi adidaya manapun.

    Kesimpulan
    Cina saat ini menandingi AS dalam hal ekonomi yang menyebabkan timbulnya pertengkaran perdagangan di antara mereka. AS telah menetapkan batasan terhadap impor Cina dan kini Cina berada dalam posisi sebagai obyek dari kasus WTO (World Trade Organisation) dari praktik anti kompetisi.

    Bagi AS Cina merupakan ancaman di Asia Tenggara, maka AS ingin membatasi ambisi politik Cina tapi di saat yang sama ingin menguasai pasar domestik Cina senilai 1,4 trilyun dolar. Model pembangunan Cina menunjukkan bahwa negara manapun akan mampu untuk berkembang ke arah manapun.

    Namun suatu pembangunan pada hakekatnya adalah kemampuan untuk memiliki pandangan hidup (worldview) yang khas yang berperan sebagai fondasi semua aspek dari suatu negeri baik dari sisi ekonomi, hukum, politik luarnegeri, energi, integrasi, pemerintahan, dan relasi pria dan wanita. Dengan pandangan hidup yang khas, maka suatu negeri akan menyelesaikan semua isu secara konsisten, terarah, dan menciptakan kemajuan. Tanpa ideologi, suatu negeri mungkin akan maju, tapi akan mendapatkan dirinya dalam suatu dilema yang tidak bisa ia selesaikan. (Adnan Khan, www.khilafah.com)

    [1] Scobell A, 2003, China’s use of military force, Cambridge university press

    [2] Hassan R, (2005) ‘China: pretender or contender,’ new civilisation magazine, http://www.newcivilsation.com

    [3] L C, Douglas and Young, Thomas-Durell, (Sep 2005) ‘US Department Of Defense Strategic Planning: The Missing Nexus,’ http://www.strategicstudiesinstitute.army.mil/pdffiles/pub329.pdf

    [4] Condoleezza Rice, Campaign 2000: Promoting the National Interest, Foreign Affairs, January/February 2000,
    http://www.foreignaffairs.org/20000101faessay5/condoleezza-rice/campaign-2000-promoting-the-national-interest.html

      Waktu sekarang Thu 16 May 2024, 08:10