Komunitas alQuds Invision

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

    Menghidupkan kewajiban Sosial : Amar Makruf Nahi Munkar

    bilal
    bilal
    Sipil
    Sipil


    Posting : 30
    Poin : 76

    Menghidupkan kewajiban Sosial : Amar Makruf Nahi Munkar Empty Menghidupkan kewajiban Sosial : Amar Makruf Nahi Munkar

    Post by bilal Tue 08 Dec 2009, 08:23

    Dalam surat Lukman, segera setelah menerangkan makna hikmah, Allah swt. mengenalkan Lukman sebagai manusia yang telah menerima hikmah dari-Nya. Allah swt. menandaskan manusia hakim (bijak) seperti inilah yang kemudian mewasiatkan pesan-pesan bijak kepada anaknya melalui ucapannya: “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan makruf (yang baik) dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah atas segala yang menimpa kamu sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah”. (Qs Lukman:17).

    Yang dimaksudkan makruf adalah sesuatu yang direstui oleh akal dan atau agama (Qur’an dan Hadits). Sebaliknya munkar, yaitu apa-apa yang ilegal dan tertolak menurut akal dan atau agama. Lukman berkata: “Tegakkanlah amar makruf nahi munkar”.

    Lalu beliau menekankan bahwa dalam rangka kewajiban itu diperlukan tekad kolektif, karena kita akan menghadapi rintangan dan kesulitan, dan untuk itu kita harus selalu menanamkan kesabaran. Adapun maksud dari azmil umuur (perkara yang ditetapkan) ialah perkara yang harus dilapisi itikad yang kuat dan tekad yang bulat.

    Jelas bahwa semua kerja dan usaha (sengaja) manusia didasari oleh kehendak. Tanpa kehendak itu, ia tidak mungkin melakukan usaha apapun, meski kita temukan pada sebagian usahanya bahwa ia mesti berpikir dan berdiskusi terlebih dahulu untuk kemudian mengambil kebulatan tekad. Dan, kalau usaha itu penting dan menyangkut nasib bersama, ini pun tidak mungkin terealisasikan tanpa ada kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, bisa dipastikan usaha dan kerja ini memerlukan tekad kolektif dari segenap lapisan masyarakat.

    Amar makruf nahi munkar bukanlah kewajiban khusus untuk kalangan pesantren, karena kewajiban khusus mereka adalah mengusahakan pembinaan dan pembersihan jiwa. Amar makruf nahi munkar bukan kewajiban utama lingkungan akademisi, sebab kewajiban khas mereka ialah mengusahakan peningkatan kualitas pengajaran dan pendidikan. Ia juga bukan tugas utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, karena amanat besar yang yang harus mereka buktikan ialah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan generasi muda bangsa. Sesungguhnya amar makruf nahi munkar merupakan kewajiban sosial. Untuk itu, jelas diperlukan kebulatan tekad segenap komponen bangsa.

    Amar dan nahi berarti kesanggupan dalam menyampaikan, bukan sekedar kepiawaian dalam beretorika dan menasehati, bukan pula sebatas keterampilan dalam menulis sebuah artikel. Semua itu perkara yang sederhana dan sangat mudah. Amar dan nahi yaitu upaya menyampaikan perintah dan larangan praktis terhadap gejala ganjil dan negatif dalam sebuah lingkungan. Maka itu, sumber-sumber Fikih meletakkan masalah amar makruf nahi munkar dalam bab Jihad, yang di dalamnya kewajiban berjihad tidak hanya atas kalangan pesantren, perguruan tinggi, ataupun departemen pendidikan dan kebudayaan. Sebab, tugas utama mereka -sekali lagi- berkaitan dengan ihwal peningkatan intelektualitas dan kultur masyarakat.

    Seseorang yang tidak tahu bahwa ia telah melakukan dosa bukanlah objek amar makruf nahi munkar. Hanya saja, ia harus diberi 'pencerahan' mengenai hukum-hukum syariat, sehingga ia tahu bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan agama. Di sinilah tanggung jawab utama para ulama, intelaktual dan penyelenggara pendidikan dan kebudayaan.

    Akan halnya seseorang yang tahu bahwa tindakannya itu sebuah dosa dan penyelewengan, namun ia tetap melakukannya sengan kesadaran dan kesengajaannya, orang seperti inilah yang layak ditindak sesuai amar makruf nahi munkar. Terhadapnya harus diambil tindakan yang tegas, yang tentunya perlu kesatuan tekad dari segenap unsur masyarakat. Di sinilah letak-nya wajib kifayah, dimana semua anggota masyarakat sama-sama bertanggung jawab melaksanakannya.

    Setiap unsur masyarakat, apakah ia ulama, intelektual, aparat pemerintah urusan pendidikan dan kebudayaan, maupun rakyat sipil, semua berkewajiban mengambil posisi dan peran sosialnya masing-masing. Namun, bidang-bidang penting sekaitan dengan eksekusi hukum Tuhan seperti cambuk, berada pada kewenangan lembaga pemerintahan. Adapun forum-forum protes dan penuntut berada pada tanggung jawab serta kebulatan tekad segenap lapisan masyarakat.

    Ada perbedaan esensial antara kewajiban amar makruf nahi munkar dan takzir atau hukum pidana. Dalam konteks amar makruf, kita harus mengajak pelaku kepada kebaikan, dan dalam konteks nahi munkar, kita wajib melarang perilaku yang menyimpang dari ajaran agama, kita harus menegur pelakunya dengan mengatakan: “Lakukanlah perbuatan baik ini!” atau “Tinggalkanlah pekerjaan buruk itu!”.

    Namun, dalam konteks takzir dan hukum pidana, seorang terpidana akan dijatuhi hukuman dan dituntut: “Mengapa Anda lakukan tindakan kriminal itu?”. Penegakkan hukum ini adalah tanggung jawab para aparat pengadilan syariat Islam. Sementara amar makruf nahi munkar merupakan tugas setiap individu, bukan hanya tugas seorang hakim. Oleh karena itu, tuntutan seperti: “Kenapa perbuatan munkar itu kau lakukan?” adalah tanggung jawab para aparat kehakiman, tetapi perintah untuk melakukan ataupun meninggalkan suatu perbuatan terkait dengan amar makruf nahi munkar, kewajiban yang amat bergantung pada tekad seluruh komponen bangsa.

    Rasulullah saww. pernah bersabda: “Tidak seorangpun di dalam masyarakat Islam dibenarkan lari dari tanggungjawab yang harus ia pikul”, sehingga dengan seenaknya ia mengatakan: “Apa urusannya denganku?”, atau hendak merusak tanggung jawab orang lain dengan mengatakan: "Apa urusannya denganmu?", atau membela diri bahwa "Bukankah aku bermaksiat dengan hartaku sendiri, dan aku sendiri yang kelak akan menanggung segala resiko buruk dan balasan siksa”.

    Sesungguhnya Rasulullah saww. hendak menegaskan bahwa tanggung jawab kolektif itu ada karena manusia membawa sisi sosial. Kalaulah pembuktian keberadaan entitas sosial itu tidak gampang, tapi sisi sosial yang terdapat pada setiap orang bisa dengan mudah dipastikan. Karena manusia, selain memiliki sisi individual, juga merangkap sisi sosial. Dari sinilah dapat kita ketahui bahwa manusia selalu tergantung pada selainnya.

    Dalam rangka mendekatkan pemahaman yang abstrak melalui ilustrasi konkret, Rasulullah saww. menerangkan amar makruf nahi munkar lewat sebuah cerita. Beliau mengumpamakan masyarakat bak penumpang-penumpang kapal yang tengah berlayar di samudera luas. Di dalamnya mereka selalu dihantui rasa takut akan kemungkinan tengelam dan mati di tengah ganasnya ombak. Sekiranya ada salah satu penumpang membawa kapak atau gergaji, dan karena kebodohannya lantas membuat lobang di sekitar lantai duduknya, lalu kepada penumpang lain yang memprotes tindakannya itu ia menjawab: “Kenapa harus ribut, bukankah aku membuat lobang ini di sekitar lantai dudukku sendiri, aku tidak mengganggu lantai duduk orang lain”. Sementara itu, datang orang dungu yang tidak peduli akan akibat yang akan terjadi dan mengatakan: “Biarkan saja, bukankah dia telah melobangi lantai duduknya sendiri, dengan kampaknya sendiri, itu semua tidak ada hubungannya dengan kita“. Tak pelak lagi, para penumpang kapal mengusirnya, sementara lantai duduk itu sudah terlanjur berlubang, justru dari lobang itulah air laut pun masuk memenuhi seluruh kapal sampai mengganggu keseimbangannya. Segera kapal beserta awaknya pun mulai tenggelam perlahan-lahan dan berakhir dengan kebinasaan seluruh penumpangnya.

    Kalaulah sejak dini pembuat lubang itu sudah diperingatkan, “Jika kamu hendak membuat lobang di lantai dudukmu, maka pergilah ke suatu tempat yang tidak ada orang selain dirimu, sampai kamu hidup sendirian di sana. Atau, kamu hidup di bumi secara sosial. Maka itu, jika kamu lakukan tindakan bodoh ini, maka air laut akan memenuhi seluruh bagian kapal dan semua penumpang akan binasa. Jadi, seandainya dari awal mereka mampu merebut kapak dari tangan si perusak, tentu seluruh penumpang akan selamat dari bencana.

    Namun, apabila para penumpang itu sepakat untuk bersikap masabodoh, bahwa “Apapun yang diperbuat satu orang itu tidak ada hubungannnya dengan kita”, niscaya mereka semua pun akan binasa. Tetapi, kalau mereka semua percaya bahwa “Masing-masing kita semua punya tanggung jawab, untuk itulah diperlukan tekad dan kesungguhan bersama, marilah sama-sama berusaha merebut kapak dari tangan si perusak itu”. Jika ini yang mereka lakukan, pasti mereka semua akan selamat, sampai tujuan.

    Dalam rangka menjelaskan keutamaan tersebut kepada segenap umat, Imam Ali bin Abi Thalib as. dalam sebuah ungkapannya mengatakan: “Bukankah kalian diperintahkan untuk berakhlak sesuai akhlak Tuhan, bukankah telah diperdengarkan kepada kalian bahwa “Berakhlaklah dengan akhlak Allah” (Bihar al-anwar, jil:61, hal:129). Bahwa salah satu etika Tuhan ialah ber-amar makruf nahi munkar, sebagaimana yang ditegaskan oleh hadis Nabi saww.: “Sesungguhnya amar makruf nahi munkar merupakan dua akhlaq Allah (ibid jil:100, hal:89)

    Ajaran Tuhan mencakup pendidikan, pengajaran dan pemberian pesan-pesan yang indah: “Yang mengajari manusia tentang apa yang tidak ia ketahui” (s Al-Alaq:5) “Membacakan” (s Al-Baqarah:129) “Mensucikan” (s An-nisaa’:49) “Tidaklah ada bagi kamu selain dari pada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa’at” (s As-sajdah:4) dan “Cukuplah Tuhanmu pemberi petunjuk dan penolong” (s Al-Furqaan:31)

    Semua perkara tersebut dinisbahkan langsung kepada dzat Allah sendiri, dan tidak ada satupun yang berbentuk perintah. Kalau mengenai shalat Tuhan berfirman: “Tegakkanlah sholat” (Al-Baqarah:43) guna menunjukkan bahwa Allah hendak menjelaskan dan mengajarkan hukum wajib kepada manusia, tetapi ayati:“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan” (An-Nahl:90) menegaskan bahwa Tuhan menurunkan perintah atas manusia, dan bahwa di dalam ayat ini terdapat perintah tegas. Perintah ini dinyatakan oleh sebagian hadis bahwa amar makruf nahi munkar merupakan moral Tuhan.

    Imam Ali as. lebih lanjut mengatakan: “Jika kalian takut melakukan amar makruf nahi munkar sehingga mempercepat ajal kalian, maka ketahuilah bahwasanya kewajiban ini tidak mengurangi sedikitpun rezeki ataupun umur kalian; “Amar makruf nahi munkar itu tidak mendekatkan (nasib) kepada ajal ataupun mengurangi rezeki” (ihar al-anwar, jil:32, hal:24)

    Dua jaminan ini tampak menonjol dalam dalam wasiat beliau kepada dua putranya; Al-Hasan dan Al-Husein juga kepada semua umat beliau; “Hendaknya kalian beramar makruf nahi munkar atau kalian akan mendapati keburukan menimpa kalian, sehingga orang-orang baik akan menyerukannya kepada kalian sedang mereka tidak akan dihiraukan” (l-kaafi, jil:5, hal:56) Dampaknya, jika kita tinggalkan amar makruf nahi munkar, orang-orang dzalim itu akan merebut kendali kekuasaan dari tangan kita.

    Dari sini, dapat diketahui bahwa amar makruf nahi munkar adalah perangkat yang ampuh dan efektif dalam mengawasi politikus-politikus busuk acapkali mereka bermain kotor dalam urusan politik dan kepentingan bangsa. Jika amar makruf nahi munkar ini diabaikan, justru orang-orang busuk itu yang akan mengambil alih kendali kepemimpinan bangsa, sedang kepemimpinan seorang saleh yang faqih tidak akan lagi disebut sebagai pilihan. Sehingga, hanya kepemimpinan manusia yang menyimpang dan fasiq saja yang akan berkuasa. Dalam keadaan demikian ini, doa orang-orang alim pun tidak lagi didengar Allah swt.

    Dalam sebuah khutbah yang terkenal dengan khutbah qoshi'ah, Imam Ali as. mengatakan: “Mereka yang hidup di zaman dahulu tidak pernah dilaknat oleh Allah di hadapan kalian kecuali tatkala mereka telah melalaikan amar makruf nahi munkar (Nahjul Balaghah, khutbah ke:193)

    Dapat kita cermati bagaimana Imam Ali as, setelah menjelaskan perihal amar makruf sebagai salah satu etika Tuhan dan mewasiatkan kaum muslimin supaya berperilaku sesuai dengan etika Ilahi ini serta mengupayakan pelakasanaannya yang tak beresiko sama sekali, beliau pun menerangkan mekanisme dan pola penerapannya. Bahwa amar makruf nahi munkar memiliki banyak tahapan; jika seseorang melakukan perbuatan yang buruk atau maksiat atas dasar kesengajaan dan kesadarannya, maka kita harus menunjukkan penentangan hati kita sebelum kita nyatakan dengan kata-kata kepadanya, lalu kita perintahkan supaya ia meninggalkan perbuatan buruk tersebut. Tahapan akhir yang mungkin kita ambil ialah melakukan tindakan preventif secara praktis terhadap perbuatan buruknya.

    Seseorang yang mengabaikan ketiga tahapan itu, yakni ia sama sekali tidak melakukan satupun dari tiga pola amar makruf nahi munkar, paling tidak ia harus melakukan dua hal; menentangnya dalam hati dan memprotes dengan lisan. Kalaupun hal ini tidak bisa ia tunjukkan, setidak-tidaknya ia harus mengingkarinya dalam hati. Kalaupun ternyata yang terakhir ini tidak sanggup ia tunjukkan, maka jadilah bangkai yang berjalan tegak dan bergerak di tengah manusia yang hidup; “Mereka adalah bangkai (di antara) orang-orang hidup” (Bihar al-anwar, jil:97 hal:82).

    Atas dasar ini, kita bisa menghitung manusia jadi empat macam; mati atau hidup, dan yang hidup ini pada gilirannya terbagi kepada tiga macam seiring dengan tiga tahapan amar makruf nahi munkar yang telah disebutkan tadi.

    Imam Ali as. menekankan bahwa jihad memiliki banyak cabang, salah satunya adalah amar makruf nahi munkar, dan bahwa jihad memiliki berbagai tahapan gradual, yang satu lebih unggul dari yang lain. Seseorang yang hatinya menentang kemungkaran, lisannya memerintahkan kebajikan dan melarang keburukan, lantas ia berusaha untuk menahan perilaku buruk selainnya dengan tangan dan tindakan, maka ia termasuk golongan yang telah sampai pada derajat tertinggi jihad, karena jihad di jalan Allah mencakup amar makruf nahi munkar, dan yang belakangan ini merupakan salah satu bagian dari jihad yang bertahap-tahap. Tentunya, tahapan yang lebih tinggi memiliki keutaman lebih dibanding dengan tahapan-tahapan di bawahnya.

    Akhirnya, marilah barang sejenak kita simak salah satu kata mutiara Imam Ali as: “Jihad di jalan Allah melalui amar makruf nahi munkar ibarat air ludah di tengah gelombang samudra". Inilah perbandingan indah antara jihad lembut dan jihad tegas. Keduanya dalam kategori jihad, hanya yang satu lebih utama ketimbang yang lain. (islamalternatif)

    (Diterjemahkan oleh Mukhtar Luthfi, dari Syukufoi-e Aql dar Partuye Nehzat-e Huseini, Jawadi Amuli, Al-Isra, Qom, 1380 HS.)

      Similar topics

      -

      Waktu sekarang Mon 29 Apr 2024, 10:49