Komunitas alQuds Invision

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

    Kisah-kisah Menyedihkan Pemurtadan

    agase2
    agase2
    Pion Menengah Artrab
    Pion Menengah Artrab


    Posting : 63
    Poin : 183

    Kisah-kisah Menyedihkan Pemurtadan Empty Kisah-kisah Menyedihkan Pemurtadan

    Post by agase2 Mon 07 Dec 2009, 10:04

    Waspadalah kepada mualaf yang masuk Islam gara-gara ingin memenuhi syarat di KUA. Dua kisah berikut adalah contohnya

    Suami Pura-pura Masuk Islam, Lalu Murtad

    Mona (22), begitu nama panggilannya. Dibesarkan dalam keluarga Muslim yang taat, anak keempat dari tujuh bersaudara ini dikenal sebagai gadis yang patuh pada orangtua. Ibadah rajin, mengaji tak pernah henti, dan sekolahnya tak mengecewakan.

    Mendadak, ada berita yang mengejutkan. Mona hamil! Padahal gadis pemalu ini masih duduk di bangku kelas 2 SMU. Itu semua akibat ulah David, pegawai sebuah instansi pemerintahan di Kendari (Sultra) yang dianggap sebagai pacarnya. Lebih mengejutkan lagi, sang pacar adalah seorang pemeluk Kristen (Katolik) yang taat.

    Segenap keluarga shock, heran, sedih, terkejut, pokoknya campur aduk. Mona yang selama ini taat dan pendiam ternyata hamil di luar nikah. Tapi apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur.

    Kandungan Mona terus membesar. Satu hal yang kini memenuhi pikiran segenap anggota keluarga, yaitu siapa yang harus dipanggil `bapak' oleh si anak kelak. Keluarga Mona pun memberanikan diri mendatangi David, untuk mencari solusi dan meminta pertanggungjawaban.

    Sejenak keluarga Mona bisa bernafas lega ketika David menyatakan siap bertanggung jawab. Selanjutnya, keluarga Mona mengajukan satu permintaan: David harus menikahi Mona secara Islam. "Bagi keluarga kami, haram hukumnya seorang wanita Muslim menikah dengan pria non-Muslim," ujar salah seorang anggota keluarga.

    Muncul persoalan rumit, sebab David dan keluarganya tidak sudi memenuhi permintaan itu. "Saya mau menikah, asal Anda mau menerima saya seperti ini (Kristen)," ujar David. Pertemuan itu terancam deadlock.

    Mona tampak semakin tertekan. Nyaris saja saudara dan anggota keluarga yang lain tak kuat menahan emosi. Untunglah Abduh, ayah Mona, mampu bersikap sabar, "Sudahlah, ini mungkin memang risiko yang harus diambil Mona. Kalau Anda tidak mau, biarlah anak saya pulang, dan lupakan rencana pernikahan!"


    Keluarga Mona pulang dengan kesedihan mendalam.


    Entah dibawa angin apa, esok harinya tiba-tiba David bertandang. Setelah basa-basi sejenak, pria ini mengucapkan kalimat lirih yang membuat keluarga Mona tercenung, "Saya mau menikah dengan cara Islam."

    Mona senang bukan kepalang. Itu berarti aib keluarganya akan teratasi. Di sisi lain, perubahan sikap David yang tiba-tiba itu juga sempat menjadi tanda tanya besar. Namun masalah ini tak terpikirkan lebih jauh sebab keluarga Mona telanjur diselimuti kebahagiaan.

    Prosesi pernikahan akhirnya digelar. David mengucapkan dua kalimah syahadat. Pengantin baru ini memulai kehidupan bersama, dan tampak bahagia. Sampai kemudian lahirlah anaknya yang pertama, tahun 1991.

    Namun kebahagiaan itu mulai terganggu sejak kedatangan tamu-tamu misterius. Ada yang berpakaian rapi, ada pula yang berjubah hitam. Mereka sering bicara, atau tepatnya diskusi, dengan David. Tampak serius. Seiring dengan itu, sikap David berubah. Kasih sayangnya sebagai kepala rumah tangga mulai berkurang. Apakah tamu-tamu itu yang membuat David berubah? Mona belum kuasa menjawabnya.

    Belakangan, Mona baru tahu, ternyata orang-orang tersebut adalah para pendeta dimana David pernah aktif di gereja (sebelum menikah). Terang saja, Mona mulai panik, khawatir sang suami jatuh ke pelukan Kristen lagi. Meski begitu, dia tetap menjalankan tugas sebagai istri seperti biasanya.

    Dalam suatu kesempatan, Mona memberanikan diri bertanya tentang komitmen David yang pernah berjanji ingin menjadi Muslim yang baik. Agak mengejutkan, David menjawab enteng saja, "Saya sudah mengikutimu, tapi aku banyak menemukan kekeliruan."

    Pernyataan seperti itu dikatakan berulang-ulang, sampai akhirnya terdengar keluarga Mona. Dengan santun, beberapa anggota keluarga Mona menanyakan pada David, apa yang keliru itu? Apa yang membuat David bingung manakala memeluk Islam? Namun David diam seribu bahasa. Dia malah menghindar. Lama-lama, meski tidak ditanya perihal keyakinannya, David seolah enggan bertemu dengan saudara-saudara Mona. Sikap David makin tidak kooperatif. Pertengkaran sering terjadi, karena hal sepele sekalipun. Kekristenan David juga semakin transparan. Misalnya: berani memasang salib di dinding kamar tidur.

    Sikap ini tentu saja membuat perasaan Mona sakit hati. Mona kemudian menurunkan tanda salib itu dari dinding kamar tidur. Eh, esuk hari, David memasang lagi. Bahkan David semakin nekad, dengan membeli salib yang lebih besar. Secara demonstratif simbol kebanggaan orang Kristen itu diletakkan di ruang tamu, di depan mata Mona. Tentu saja Mona jadi uring-uringan. Lagi-lagi salib itu diambil. Begitu berulang-ulang.

    Melihat kondisi rumah tangga yang makin tidak harmonis, keluarga Mona was-was. Bahkan sempat melontarkan pertanyaan, "Apakah status suami-istri itu akan terus dipertahankan?"

    Mona diam, tampak kebingungan. Kalau melihat pertengkaran yang sering terjadi akibat perbedaan keyakinan, tentu rasanya tak betah lagi. Tapi kalau melihat ketiga anaknya yang masih kecil, Mona tak tega untuk memisah kasih sayang ayah ibunya. "Kalau saya bercerai, bagaimana kelak nasib anak-anak?" ucapnya lirih.

    Mona masih terus berupaya mempertahankan mahligai rumah tangganya. Dia tengah berusaha keras menyelamatkan aqidah kedua anaknya. Itulah dua mutiara yang diharapkannya, sebab satu anaknya lagi telah mengikuti jejak sang ayah: menganut Kristen.� (dikisahkan kakak Mona kepada cha)


    "Saya Pilih Cerai"


    Setiap kali berbicara masalah perkawinan, Tri Wahyuni (28) langsung sedih. Yang terpancang di benak adalah kegagalan. Yuyun �panggilannya� yang bekerja di sebuah apotek di Yogyakarta ini terpaksa bercerai dengan sang suami, Sinsen, Maret lalu. "Saya dipaksa masuk Katolik, dan saya tidak mau" ujarnya.

    Sinsen sebenarnya sudah menyatakan masuk Islam, saat prosesi pernikahan 4 tahun lalu. "Sebelumnya beragama Katolik. Dia mau masuk Islam agar dapat menikah dengan saya," wanita berjilbab ini berkisah.

    Sejak menikah sampai akhirnya dikaruniai 2 anak, rumah tangga Yuyun-Sinsen berjalan biasa-biasa saja. Kalaupun ada pertengkaran kecil, itu wajar. Keluarga keduanya juga bisa menjalin hubungan yang cukup baik. Jadi, masalah keyakinan (untuk sementara) tak jadi persoalan.

    Ada satu pekerjaan ekstra yang harus dilakukan Yuyun untuk memperkuat bahtera rumah tangganya. Yaitu ia harus mendorong suaminya untuk tekun belajar Islam, mulai dari nol. Ternyata bukan pekerjaan mudah, sebab meski sudah bersyahadat, Sinsen bersikap cuek dengan status KTP-nya yang beragama Islam. "Dia bersikap masa bodoh," keluh Yuyun.

    Awal tahun lalu, sang ibu mertua bertandang ke rumah Yuyun. Keluarga Sinsen yang masih menganut Katolik itu, katanya kangen dengan anak-anak. Tentu saja ini menjadi saat-saat yang menyenangkan. Bisa berkumpul dengan keluarga dan bercanda bersama.

    Di tengah canda ria itu, mertua mendekati Yuyun. Selang beberapa detik kemudian menantu yang taat ini dibuat terperanjat, sebab sang mertua mengungkit lagi status perkawinan yang sudah menghasilkan 2 anak itu. "Kamu harus menikah lagi, supaya seluruh keluargamu bisa diterima saudara-saudara suamimu," kata sang mertua.

    "Bukankah perkawinan saya sudah sah, secara agama maupun hukum?" tanya Yuyun.

    "Kamu harus menikah secara Katolik," mertuanya mendesak.

    Yuyun terdiam. Sebagai ibu rumah tangga, dia ingin membicarakan masalah ini dengan kepala rumah tangga. Anehnya, sang suami diam seribu bahasa. Ditanya kenapa permintaan tak wajar itu sampai muncul, Sinsen menjawab singkat, "Nggak tahu!"

    Sebagai orang yang sudah masuk Islam, Sinsen tak melakukan perlawanan terhadap permintaan yang melanggar syariat itu. Dia malah begitu penurut pada keluarganya yang Katolik.

    Gagal mendapat solusi dari suami, Yuyun mengadu kepada orangtuanya. Akhirnya diputuskan kedua keluarga bertemu, membicarakan kemungkinan pernikahan babak 2 itu. Hasilnya? Nihil. Keluarga Sinsen tetap bersiteguh meminta pernikahan lagi secara Katolik, tanpa alasan jelas. Saat itulah Yuyun langsung memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai. Eh, Sinsen ikut saja. "Saya jadi heran, suami saya kok langsung mengiyakan. Ada apa di balik semua ini?"

    Yang pasti, Yuyun sudah mantap pada keputusannya. Meski keduanya sudah bercerai, Sinsen masih sering berkunjung ke rumah, menjenguk anak-anak. "Kewajiban saya saat ini cukup berat, harus menjaga anak-anak sendirian. Yang paling berat adalah menjaga anak-anak agar tidak terpengaruh keyakinan mantan suami saya, yang setiap saat menjenguknya."�

    (dikisahkan Yuyun kepada amz/Hidayatullah)

      Waktu sekarang Tue 14 May 2024, 22:07